Breaking News
Loading...
12 Jun 2012

Info Post

Sistem pendidikan di Indonesia belum membebaskan. Peserta didik menjalani proses belajar bagaikan dalam penjara. Sekolah alternatif bisa menjadi solusi. Demikian disampaikan Ketua Komnas Perlindungan Anak DR. Seto Mulyadi kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute.
Berikut wawancara lengkapnya.


“Karena Sekolah Kita Laksana Penjara” Dr. Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA)
Apa yang dimaksud pendidikan yang membebaskan? 


Membebaskan anak untuk berkreasi, mengekspresikan
perasaannya, dan sebagainya. Intinya tidak membebani anak dan tidak menjadikan sekolah itu seperti penjara. Ketika anak mendengar “hari ini boleh pulang, kerena ibu guru mau rapat,” mereka bilang “horeee, bebas!” Ini karena sekolah kita laksana penjara. Seharusnya sekolah itu membebaskan ide-ide kreatif mereka.


Sistem pendidikan kita sudah membebaskan?
Belum! Kesadaran bahwa pendidikan itu untuk anak, belajar itu hak bukan kewajiban, itu masih minim. Sekarang anak-anak lebih banyak diperlakukan seperti robot; harus nurut, anak untuk kurikulum, sarat kekerasan, dan kadang sekedar mengejar nilai bukan proses. Ini sangat merugikan bagi pengembangan
kreativitas dan kemandirian anak. Pendidikan yang membebaskan itu seperti apa?


Seperti home schooling, sekolah alternatif, juga sekolah alam yang memungkinkan anak belajar dengan cara masing-masing. Kalau ada delapan standar pendidikan nasional yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), maka yang harus diikuti hanya tiga; yaitu standar isi kurikulum, standar kompetensi
lulusan dan standar evaluasi. Sedangkan standar proses, standar guru, standar biaya, standar sarana prasarana, itu bebas.

Cara mengevaluasinya?
Sama saja, pakai pertanyaan-pertanyaan standar kompetensi yang diharuskan. Bahkan kami sedang mendesak mereka tidak saja bisa ikut ujian kesetaraan, tapi juga ujian nasional sama seperti sekolah formal. Di sini akan dilihat anak-anak yang sekolah lewat jalur formal dan informal itu kualitasnya sama apa tidak.


Penelitian di AS menunjukkan, mereka yang home schooling, secara akademik maupun psiko sosial-nya banyak yang lebih tinggi dari anak-anak yang sekolah biasa.


Peran guru dalam model sekolah ini?
Sebagai fasilitator proses belajar. Guru juga bisa belajar bersamasama dengan murid.


Tempat belajarnya?
Bisa di mana saja. Di tenda, rumah, atau pasar. Sesekali mereka diajak keluar. Misalnya ke kantor polisi, pemadam kebakaran atau apa saja.


Bagaimana pendekatan belajarnya?
Tetap mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Bukan anak untuk kurikulum, tetapi kurikulum untuk anak. Jadi, kurikulum didesain untuk anak dalam kondisi yang berbeda. Misalnya, untuk anak-anak di Pasar Induk Kramat Jati. Setelah belajar hari Sabtu dan kita yang datang ke sana, mereka lalu kembali menjual koran,
menyemir sepatu, mengupas kerang atau apapun. Kalau ditanya kenapa tidak sekolah? Mereka jawab, “Sekolahnya terlalu ketat,  kami tidak bisa kerja”. Maka pilihannya pendidikan alternatif. 


Kita jemput bola. Modelnya kelas berjalan; kita datengin dan kita sediakan fasilitas. Mereka belajar sangat semangat dan gembira.[]

DR. Seto Mulyadi

Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Lies Marcoes-Natsir, Budhy Munawar-Rachman Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif, Nurun Nisa | Redaktur Pelaksana: Gamal Ferdhi | Desain: Widhi Cahya  - Suplemen the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007

0 comments:

Post a Comment