Breaking News
Loading...
16 Jun 2012

Info Post

Baru-baru ini Ahmad Bahruddin, penggagas dan “kepala sekolah” Qoryah Thoyyibah (QT) mendapatkan penghargaan “Ma’arif Award” dari Ma’arif Institute dan menjadi tamu di acara Metro TV, Kick Andy pada 1 Juni 2012. Bahruddin sendiri lebih suka menamakan “sekolah”-nya “Komunitas Belajar” dan inilah yang sebenarnya inti dari sekolah efektif.

“Effective schools are learning communities.” (Department of Education & Training, Melbourne, 2005)

Sujono Samba (46) tersenyum ketika seorang murid menyodorinya selembar surat dari Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kota Salatiga, Jawa Tengah. “Dilarang menggunakan istilah-istilah yang ada di perguruan tinggi,” bunyi salah satu butir surat itu.Pengajar Sekolah Menengah Pertama Qoryah Thoyyibah (SMP QT) ini langsung teringat beberapa istilah yang kerap digunakan murid-muridnya seperti riset, disertasi, report, dan lainnya. Perkara itu rupanya dianggap para pejabat dinas pendidikan setempat menyalahi aturan dan harus diberi peringatan.

Tapi Sujono beserta para pendamping kelas dan seluruh siswa SMP di Desa Kalibening Kecamatan Tingkir, sebelah timur Kota Salatiga, ini tak terusik dengan surat teguran tersebut. Aktivitas belajar tetap berjalan seperti biasa. “Kalau keberatan istilahnya dipakai anak SMP, mestinya perguruan tinggi cari istilah lain,” gurau Sujono yang juga menulis buku Lebih Baik Tidak Sekolah.


Menurut Mudjab, pendamping kelas lainnya di SMP QT, istilah-istilah tersebut adalah bentuk ekspresi dari misi pembebasan dan kemandirian sekolah yang berdiri sejak Juli 2003 itu. Pembebasan berarti keluar dari belenggu aturan formal yang membuat murid tidak kritis dan tidak kreatif. Sedang kemandirian berarti belajar tanpa bergantung apapun dan siapapun.

“Selama ini lembaga pendidikan formal membelenggu anak dengan sederet aturan yang tidak jelas kepentingannya buat si anak. Seperti baju seragam, sepatu seragam dan masuk harus jam 7 pagi,” tambah Mudjab yang juga salah satu penggagas berdirinya sekolah ini.

Pendapat Mudjab diamini Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi.
Kak Seto, panggilan akrab pria berkacamata ini, mengakui sistem pendidikan di Indonesia belum membebaskan. “Sekarang anak-anak lebih banyak diperlakukan seperti robot; harus nurut, anak untuk kurikulum, sarat kekerasan, dan kadang sekedar mengejar nilai bukan proses,” katanya (baca: Karena Sekolah Kita Laksana Penjara).

Untuk itulah, para pengelola SMP QT membebaskan para eserta didiknya belajar menurut keinginan. “Sumber pembelajaran telah tersedia tanpa batas. Bahkan pada persoalan hidup yang muncul setiap hari,” kata Kepala Sekolah SMP QT Bahruddin. Semua murid sekolah yang dilengkapi fasilitas internet 24 jam ini tidak dikutip uang pangkal, uang seragam, uang buku dan uang gedung. Karena untuk menyiasati kekurangan ruang belajar, bilik-bilik milik rumah di sekitar kediaman Bahruddin disulap menjadi kelas yang dipakai bergiliran.

Sekolah ini bagai terinspirasi sistem pesantren klasik yang tidak bergantung pada tempat dan aturan formal. Biaya operasional sekolah yang semula hanya menempati  teras dan garasi sang kepala sekolah, ini diambil dari APBD yang kecil untuk pendidikan SMP terbuka dan kocek wali murid. “Setiap anak yang mau masuk, wali murid dan pengelola ketemu untuk menentukan besaran kontribusi yang disanggupi. Tidak harus sama satu anak dengan yang lainnya,” jelas Mudjab.

Kebersahajaan itu dirancang sebagai perlawanan terhadap komersialisasi lembaga pendidikan formal. “Kalau orang berduit yang dicari adalah kualitas, persoalan biaya tidak masalah. Tapi kalau murah dan berkualitas kan alternatif bagi semua,” jelas Bahruddin.

Pada tahun pertama berdiri, sekolah ini diikuti 12 anak. Kini memasuki tahun keempat, SMP QT telah memiliki delapan pendamping (guru) dan 99 siswa dari kelas I sampai kelas IV. Sebagian besar, muridnya anak buruh tani dan pedagang pasar dengan penghasilan Rp 15 sampai 20 ribu sehari. “Bisa dibayangkan jika mereka harus membayar uang pangkal hingga Rp 700 ribu, untuk SPP perbulan Rp 35 sampai Rp 40 ribu, belum lagi uang buku, uang saku dan macam-macam, tentu bagi mereka sekolah adalah barang yang sangat mahal,” urai Mudjab.

Kini peminat sekolah ini membludak, tidak hanya dari Salatiga tetapi juga daerah lain hingga Jakarta. Namun, kata Bahruddin, tidak ada pembedaan terhadap murid. “Kaya miskin akan diperlakukan sama di sini,” ujar Bahruddin. Sekolah yang terdaftar di Diknas Kota Salatiga sebagai pendidikan luar sekolah (PLS), ini juga membebaskan muridnya untuk mengikuti atau tidak ujian akhir nasional (UAN). Tapi prestasi kerap diraih sekolah yang lahir dari Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT).

Murid kelas 3 SMP QT, telah melahirkan karya ilmiah yang mereka sebut disertasi.  “Disertasi itu sebagai tugas akhir, karena dulu kita sepakat idak ikut UAN,” kenang Mariatul Ulfah (15), murid kelas IV SMP QT atau mereka kerap menyebut kelas 1 SMU singkatan dari Sekolah Menengah Universal.

Tengoklah disertasi Amri (15) dan Zulfi (15) yang mencoba membuat briket dari sampah dan bambu kering. Hilmy (15) meneliti bio-urine sebagai pengganti pupuk urea. Fina (15), Izza (14) dan Kana (15) melahirkan disertasi berjudul Lebih Asyik Tanpa UAN. Untuk membuat karya itu, Fina rela mengikuti UAN kelas 3 di SMP 1 Salatiga. Hasilnya, dia meraih peringkat kedua dari seluruh peserta UAN di sekolah itu. Disertasi itu pun dijadikan buku dan menerima Indonesian Creative Award 2006 dari Yayasan Cerdas Kreatif Indonesia pimpinan Seto Mulyadi.

Tak sampai di situ, sejumlah novel pop dan kumpulan puisi yang diproduksi murid sekolah ini sudah diterbitkan Penerbit Matapena, Yogyakarta. Menyusul kemudian kumpulan puisi, katalog lukisan, serta presentasi tertulis dan vcd berbagai mata pelajaran. Kini murid-murid sekolah itu sedang mempersiapkan sebuah album musik dan film hasil ciptaan mereka.

Atas berbagai prestasi itu, Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta mengganjar SMP QT dengan Sanata Dharma Award 2005. Ini adalah kali pertama USD memberikannya kepada pihak luar. “Sekolah ini mencoba menawarkan pendidikan bermutu dan murah. Bermutu bukan sekedar peringkat tinggi, tapi yang lebih penting mereka memberdayakan peserta didik dalam menghadapi realitas kehidupan sekitar,” kata koordinator tim award USD Budiawan.

Budiawan melihat, metode pembelajaran SMP QT terfokus kepada anak didik, bukan guru. Dalam pendekatan seperti ini, anak-anak diberi kebebasan untuk belajar darimana saja, apa saja, dan tidak harus di kelas. Semuanya diserahkan kepada anak didik. Seperti saat berkunjung ke SMP QT, the WAHID Institute mendapati sebagian besar tempat belajar kosong pada jam pelajaran. Ternyata murid-muridnya sedang asyik belajar di sawah, ladang atau sungai.

Di dalam maupun di luar kelas, guru yang biasa dipanggil pendamping atau fasilitator dilarang mengarahkan proses pembelajaran. Pendamping hanya boleh mendengar dan menjaga agar kegiatan kelas tetap kondusif. “Pendamping hanya berfungsi sebagai teman belajar yang juga harus belajar. Di sini tidak ada istilah guru-murid, yang ada adalah sekumpulan orang-orang yang ingin belajar,” kata Mudjab.

Justru karena fungsi guru yang setara, anak-anak SMP QT terlatih membuat perencanaan kelas, menentukan materi, menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan hingga evaluasi belajar. “Semuanya dilakukan sendiri. Kelas I peran pendamping 50 persen, kelas II 25 persen, kelas III dan IV sudah nggak ada campur tangan pendamping, mandiri total,” jelas Ahmad pendamping kelas IV.

Makanya tidak heran, kalau anak-anak kelas IV –yang menamai kelasnya dengan Creative Kids-- merancang sendiri metode pembelajaran kelasnya setiap hari. Waktu sekolah dari jam 06.00 sampai jam 13.30, mereka bagi menjadi lima fase pembelajaran. Fase I (6.00-07.00): mendampingi kelas I dalam English Morning. Fase II (07.00-09.30): Knowledge yang berisi penggalian pengetahuan umum yang diambil dari standar kompetensi kurikulum nasional. Fase III (10.00-12.00): Forum, waktu berkumpul anak-anak yang memiliki minat sama. Fase IV (12.00-13.30): Private. Pada waktu ini biasanya para murid membuat kesepakatan.

“Setiap dzuhur shalat berjamaah bersama dan terkadang ashar-nya juga. Mereka juga mencari guru agama sendiri untuk belajar agama. Kalau malam sebagian mereka belajar agama di pesantren,” ujar Ahmad. Dan terakhir fase V (13.30-15.00): Refleksi Bersama yang berisi evaluasi informal.

Memang, belajar dan riset dijalankan menurut rencana masing-masing murid atau kelompok. Keuangan juga diatur mereka sendiri. “Singkatnya dari A sampai Z diatur anak-anak sendiri,” papar Bahruddin.
Selain mengundang kekaguman, gaya belajar a la Kalibening ini bagai virus yang menulari daerah sekitarnya. Dalam kurun waktu empat tahun, telah berdiri 10 sekolah sejenis. “Tidak menutup kemungkinan akan bertambah terus,” kata Bahruddin.

Di Kabupaten Boyolali didirikan SMP Terbuka Otek Makmur di Dusun Glinggang, Desa Kendel,Kecamatan Kemusu dan SMP Alternatif Setyo Tunggal di Dusun Tompak, Desa Tarubatang, Kecamatan Selo. Di Magelang ada SMP Terbuka Mandiri di Dusun Belgi, Desa Bandongan, Kecamatan Bandongan. Sedang di Kota Salatiga yaitu SMP Terbuka Bumi Madania di Dusun Tingkir, Desa Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir. Di Kabupaten Semarang berdiri tiga sekolah, yaitu Kejar Paket B SMP Alternatif Al Barokah di Dusun Ketapang, Desa Ketapang, Kecamatan Susukan; SMP Candi Laras Merbabu di Dusun Nglelo, Desa Batur, Kecamatan Getasan dan SMP QT Dusun Plantungan Desa Krandon Lor Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang.

Sekolah-sekolah alternatif di atas didirikan oleh cabang Serikat Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT). “Tapi pengelolaan sekolah diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat,” jelas Bahruddin yang bersama KH. Mahfudz Ridwan merintis berdirinya SPPQT. Kini organisasi petani itu telah memiliki 80 cabang di Kabupaten Grobogan, Sragen, Magelang, Semarang, Salatiga, Surakarta, Boyolali (baca: Pionir dari Kalibening).

Selain aktivis SPPQT, murid SMP QT pun tergugah untuk membangun sekolah sejenis di daerah asalnya. Na’im, murid kelas IV, anak seorang penilik sekolah tingkat Provinsi Jateng asal Cilacap, misalnya, sudah mulai merintis sekolah sejenis di daerahnya. Sehingga ia harus bolak-balik Cilacap-Salatiga. Kesamaan nilai yang diyakini juga menjadi pencetus berdirinya sekolah-sekolah itu. “Nilai-nilai universal yang menjadi landasan bersama, misalnya, kemanusiaan, keadilan, pelestarian lingkungan dan kesetaraan gender,” kata Mudjab yang juga merangkap Kepala Sekolah di SMP QT Harapan Makmur, Dusun Plantungan yang berdiri sejak 2005.

Menurut Mudjab, sekolah yang dipimpinnya itu, didirikan karena alasan yang sama seperti di Kalibening. “Kemiskinanpenyebab banyaknya anak putus sekolah. Kita ingin anak-anak petani bisa mendapat pendidikan bermutu tapi terjangkau. Selain itu, bagaimana menerapkan sistem pendidikan yang memberdayakan, tidak malah menindas,” jelas alumnus Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Yogyakarta ini.

Sekolahnya, kata Mudjab, yang menempati ruangan bekas TPA itu memiliki delapan siswa. Di kelas satu tiga siswa dan sisanya di kelas II, dengan jumlah pengajar delapan orang. “Jadi masing-masing anak didampingi satu orang teman atau guru,” ujar Lina, salah seorang pengajar.

Murid SMP Alternatif al Barokah Ketapang lebih banyak. Berdiri sejak 24 Mei 2005, sekolah ini sekarang menampung 36 siswa yang terbagi dalam dua kelas. Metode pembelajaran diserahkan kepada anak-anak, dengan ditunjang fasilitas internet dan  laboratorium alam. “Karena sistem yang dipakai adalah kejar paket B, anakanak lebih menekankan diri pada life skill di bidang pertanian dan perikanan,” papar Sumarno pengajar SMP Alternatif al Barokah.

Lagi-lagi mahalnya biaya pendidikan menjadi alasan berdirinya sekolah ini. “Alasan lainnya, membangkitkan kembali budaya lokal yang makin dipinggirkan modernitas,” kata Sumarno. Dengan berbekal kemauan dan kerja keras, Sumarno bersama delapan guru dan lima pengelola mampu membuktikan, bahwa model pendidikan ini justru diterima masyarakat dengan antusias. “Salah satu murid di sini pindahan dari SMP negeri. Bahkan dia anak kepala sekolah itu,” tutur Sumarno bangga.

Kebanggan juga tampak di wajah pengajar SMP Candi Laras Merbabu Ely Nurhayati. Sekolah yang dirintis oleh SPPQT sejak 2004 itu telah berhasil memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat. “Bukan hanya karena sekolah kami mampu menerapkan metode belajar yang disukai murid, tapi juga komitmen para pengajar yang tidak kenal lelah,” kata Ely. Setiap kali mengajar, Ely dan beberapa pengajar harus menempuh perjalanan 8 kilometer. “Kami sering menginap di sekolah karena satu-satunya transport, yaitu ojek, sudah habis,” tambah mahasiswa tingkat akhir STAIN Magelang ini.

Dua puluh satu anak tercatat sebagai siswa SMP yang berada di lereng Gunung Merbabu ini. Dengan menempati salah satu rumah penduduk, sekolah yang terbagi dalam tiga kelas ini dilengkapi akses internet, bantuan seorang pengusaha internet dari Salatiga. Menurut Ely saat ini muridnya sedang giat membuat film documenter tentang sekolah mereka. “Memang belum seberapa,” kata Ely. “Tapi sebagai anak yang hidup di gunung, pencapaian seperti ini luar biasa,” imbuhnya.

Keuletan dan kegigihan membuat rakyat miskin juga mampu mengukir prestasi. Sepatutnya pemerintah tak hanya berpangku tangan.[]


Subhi Azhari, Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi
QORYAH THOYYIBAH
Suplemen the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007

0 comments:

Post a Comment