Baru-baru ini Ahmad Bahruddin, penggagas dan “kepala sekolah” Qoryah Thoyyibah (QT) mendapatkan penghargaan “Ma’arif Award” dari Ma’arif Institute dan menjadi tamu di acara Metro TV, Kick Andy pada 1 Juni 2012. Bahruddin sendiri lebih suka menamakan “sekolah”-nya “Komunitas Belajar” dan inilah yang sebenarnya inti dari sekolah efektif.
“Effective schools are learning communities.” (Department of Education & Training, Melbourne, 2005)
Sujono Samba (46) tersenyum ketika seorang murid menyodorinya
selembar surat dari Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kota Salatiga, Jawa
Tengah. “Dilarang menggunakan istilah-istilah yang ada di perguruan tinggi,” bunyi
salah satu butir surat itu.Pengajar Sekolah Menengah Pertama Qoryah Thoyyibah (SMP
QT) ini langsung teringat beberapa istilah yang kerap digunakan murid-muridnya
seperti riset, disertasi, report, dan lainnya. Perkara itu rupanya dianggap
para pejabat dinas pendidikan setempat menyalahi aturan dan harus diberi peringatan.
Tapi Sujono beserta para pendamping kelas dan seluruh siswa
SMP di Desa Kalibening Kecamatan Tingkir, sebelah timur Kota Salatiga, ini tak
terusik dengan surat teguran tersebut. Aktivitas belajar tetap berjalan seperti
biasa. “Kalau keberatan istilahnya dipakai anak SMP, mestinya perguruan tinggi
cari istilah lain,” gurau Sujono yang juga menulis buku Lebih Baik Tidak
Sekolah.
Menurut Mudjab, pendamping kelas lainnya di SMP QT, istilah-istilah
tersebut adalah bentuk ekspresi dari misi pembebasan dan kemandirian sekolah
yang berdiri sejak Juli 2003 itu. Pembebasan berarti keluar dari belenggu
aturan formal yang membuat murid tidak kritis dan tidak kreatif. Sedang kemandirian
berarti belajar tanpa bergantung apapun dan siapapun.
“Selama ini lembaga pendidikan formal membelenggu anak dengan
sederet aturan yang tidak jelas kepentingannya buat si anak. Seperti baju
seragam, sepatu seragam dan masuk harus jam 7 pagi,” tambah Mudjab yang juga
salah satu penggagas berdirinya sekolah ini.
Pendapat Mudjab diamini Ketua Komnas Perlindungan Anak
Seto Mulyadi.
Kak Seto, panggilan akrab pria berkacamata ini, mengakui sistem
pendidikan di Indonesia belum membebaskan. “Sekarang anak-anak lebih banyak
diperlakukan seperti robot; harus nurut, anak untuk kurikulum, sarat kekerasan,
dan kadang sekedar mengejar nilai bukan proses,” katanya (baca: Karena Sekolah
Kita Laksana Penjara).
Untuk itulah, para pengelola SMP QT membebaskan para eserta
didiknya belajar menurut keinginan. “Sumber pembelajaran telah tersedia tanpa
batas. Bahkan pada persoalan hidup yang muncul setiap hari,” kata Kepala
Sekolah SMP QT Bahruddin. Semua murid sekolah yang dilengkapi fasilitas internet
24 jam ini tidak dikutip uang pangkal, uang seragam, uang buku dan uang gedung.
Karena untuk menyiasati kekurangan ruang belajar, bilik-bilik milik rumah di
sekitar kediaman Bahruddin disulap menjadi kelas yang dipakai bergiliran.
Sekolah ini bagai terinspirasi sistem pesantren klasik
yang tidak bergantung pada tempat dan aturan formal. Biaya operasional sekolah
yang semula hanya menempati teras dan
garasi sang kepala sekolah, ini diambil dari APBD yang kecil untuk pendidikan
SMP terbuka dan kocek wali murid. “Setiap anak yang mau masuk, wali murid dan
pengelola ketemu untuk menentukan besaran kontribusi yang disanggupi. Tidak
harus sama satu anak dengan yang lainnya,” jelas Mudjab.
Kebersahajaan itu dirancang sebagai perlawanan terhadap komersialisasi
lembaga pendidikan formal. “Kalau orang berduit yang dicari adalah kualitas,
persoalan biaya tidak masalah. Tapi kalau murah dan berkualitas kan alternatif
bagi semua,” jelas Bahruddin.
Pada tahun pertama berdiri, sekolah ini diikuti 12 anak.
Kini memasuki tahun keempat, SMP QT telah memiliki delapan pendamping (guru)
dan 99 siswa dari kelas I sampai kelas IV. Sebagian besar, muridnya anak buruh
tani dan pedagang pasar dengan penghasilan Rp 15 sampai 20 ribu sehari. “Bisa
dibayangkan jika mereka harus membayar uang pangkal hingga Rp 700 ribu, untuk
SPP perbulan Rp 35 sampai Rp 40 ribu, belum lagi uang buku, uang saku dan
macam-macam, tentu bagi mereka sekolah adalah barang yang sangat mahal,” urai
Mudjab.
Kini peminat sekolah ini membludak, tidak hanya dari Salatiga
tetapi juga daerah lain hingga Jakarta. Namun, kata Bahruddin, tidak ada
pembedaan terhadap murid. “Kaya miskin akan diperlakukan sama di sini,” ujar
Bahruddin. Sekolah yang terdaftar di Diknas Kota Salatiga sebagai pendidikan luar
sekolah (PLS), ini juga membebaskan muridnya untuk mengikuti atau tidak ujian
akhir nasional (UAN). Tapi prestasi kerap diraih sekolah yang lahir dari
Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT).
Murid kelas 3 SMP QT, telah melahirkan karya ilmiah yang
mereka sebut disertasi. “Disertasi itu
sebagai tugas akhir, karena dulu kita sepakat idak ikut UAN,” kenang Mariatul
Ulfah (15), murid kelas IV SMP QT atau mereka kerap menyebut kelas 1 SMU
singkatan dari Sekolah Menengah Universal.
Tengoklah disertasi Amri (15) dan Zulfi (15) yang mencoba
membuat briket dari sampah dan bambu kering. Hilmy (15) meneliti bio-urine
sebagai pengganti pupuk urea. Fina (15), Izza (14) dan Kana (15) melahirkan
disertasi berjudul Lebih Asyik Tanpa UAN. Untuk membuat karya itu, Fina rela
mengikuti UAN kelas 3 di SMP 1 Salatiga. Hasilnya, dia meraih peringkat kedua
dari seluruh peserta UAN di sekolah itu. Disertasi itu pun dijadikan buku dan
menerima Indonesian Creative Award 2006 dari Yayasan Cerdas Kreatif Indonesia
pimpinan Seto Mulyadi.
Tak sampai di situ, sejumlah novel pop dan kumpulan puisi
yang diproduksi murid sekolah ini sudah diterbitkan Penerbit Matapena,
Yogyakarta. Menyusul kemudian kumpulan puisi, katalog lukisan, serta presentasi
tertulis dan vcd berbagai mata pelajaran. Kini murid-murid sekolah itu sedang
mempersiapkan sebuah album musik dan film hasil ciptaan mereka.
Atas berbagai prestasi itu, Universitas Sanata Dharma (USD)
Yogyakarta mengganjar SMP QT dengan Sanata Dharma Award 2005. Ini adalah kali
pertama USD memberikannya kepada pihak luar. “Sekolah ini mencoba menawarkan pendidikan
bermutu dan murah. Bermutu bukan sekedar peringkat tinggi, tapi yang lebih
penting mereka memberdayakan peserta didik dalam menghadapi realitas kehidupan
sekitar,” kata koordinator tim award USD Budiawan.
Budiawan melihat, metode pembelajaran SMP QT terfokus kepada
anak didik, bukan guru. Dalam pendekatan seperti ini, anak-anak diberi
kebebasan untuk belajar darimana saja, apa saja, dan tidak harus di kelas.
Semuanya diserahkan kepada anak didik. Seperti saat berkunjung ke SMP QT, the
WAHID Institute mendapati sebagian besar tempat belajar kosong pada jam pelajaran.
Ternyata murid-muridnya sedang asyik belajar di sawah, ladang atau sungai.
Di dalam maupun di luar kelas, guru yang biasa dipanggil pendamping
atau fasilitator dilarang mengarahkan proses pembelajaran. Pendamping hanya
boleh mendengar dan menjaga agar kegiatan kelas tetap kondusif. “Pendamping
hanya berfungsi sebagai teman belajar yang juga harus belajar. Di sini tidak
ada istilah guru-murid, yang ada adalah sekumpulan orang-orang yang ingin
belajar,” kata Mudjab.
Justru karena fungsi guru yang setara, anak-anak SMP QT terlatih
membuat perencanaan kelas, menentukan materi, menyiapkan alat-alat yang
dibutuhkan hingga evaluasi belajar. “Semuanya dilakukan sendiri. Kelas I peran
pendamping 50 persen, kelas II 25 persen, kelas III dan IV sudah nggak ada campur
tangan pendamping, mandiri total,” jelas Ahmad pendamping kelas IV.
Makanya tidak heran, kalau anak-anak kelas IV –yang menamai
kelasnya dengan Creative Kids-- merancang sendiri metode pembelajaran kelasnya
setiap hari. Waktu sekolah dari jam 06.00 sampai jam 13.30, mereka bagi menjadi
lima fase pembelajaran. Fase I (6.00-07.00): mendampingi kelas I dalam English
Morning. Fase II (07.00-09.30): Knowledge yang berisi penggalian pengetahuan
umum yang diambil dari standar kompetensi kurikulum nasional. Fase III
(10.00-12.00): Forum, waktu berkumpul anak-anak yang memiliki minat sama. Fase IV
(12.00-13.30): Private. Pada waktu ini biasanya para murid membuat kesepakatan.
“Setiap dzuhur shalat berjamaah bersama dan terkadang ashar-nya
juga. Mereka juga mencari guru agama sendiri untuk belajar agama. Kalau malam
sebagian mereka belajar agama di pesantren,” ujar Ahmad. Dan terakhir fase V
(13.30-15.00): Refleksi Bersama yang berisi evaluasi informal.
Memang, belajar dan riset dijalankan menurut rencana
masing-masing murid atau kelompok. Keuangan juga diatur mereka sendiri. “Singkatnya
dari A sampai Z diatur anak-anak sendiri,” papar Bahruddin.
Selain mengundang kekaguman, gaya belajar a la Kalibening
ini bagai virus yang menulari daerah sekitarnya. Dalam kurun waktu empat tahun,
telah berdiri 10 sekolah sejenis. “Tidak menutup kemungkinan akan bertambah terus,”
kata Bahruddin.
Di Kabupaten Boyolali didirikan SMP Terbuka Otek Makmur di
Dusun Glinggang, Desa Kendel,Kecamatan Kemusu dan SMP Alternatif Setyo Tunggal di
Dusun Tompak, Desa Tarubatang, Kecamatan Selo. Di Magelang ada SMP Terbuka
Mandiri di Dusun Belgi, Desa Bandongan, Kecamatan Bandongan. Sedang di Kota
Salatiga yaitu SMP Terbuka Bumi Madania di Dusun Tingkir, Desa Tingkir Lor,
Kecamatan Tingkir. Di Kabupaten Semarang berdiri tiga sekolah, yaitu Kejar Paket
B SMP Alternatif Al Barokah di Dusun Ketapang, Desa Ketapang, Kecamatan
Susukan; SMP Candi Laras Merbabu di Dusun Nglelo, Desa Batur, Kecamatan Getasan
dan SMP QT Dusun Plantungan Desa Krandon Lor Kecamatan Suruh Kabupaten
Semarang.
Sekolah-sekolah alternatif di atas didirikan oleh cabang Serikat
Petani Qoryah Thoyyibah (SPPQT). “Tapi pengelolaan sekolah diserahkan
sepenuhnya kepada masyarakat setempat,” jelas Bahruddin yang bersama KH.
Mahfudz Ridwan merintis berdirinya SPPQT. Kini organisasi petani itu telah
memiliki 80 cabang di Kabupaten Grobogan, Sragen, Magelang, Semarang, Salatiga,
Surakarta, Boyolali (baca: Pionir dari Kalibening).
Selain aktivis SPPQT, murid SMP QT pun tergugah untuk membangun
sekolah sejenis di daerah asalnya. Na’im, murid kelas IV, anak seorang penilik
sekolah tingkat Provinsi Jateng asal Cilacap, misalnya, sudah mulai merintis
sekolah sejenis di daerahnya. Sehingga ia harus bolak-balik Cilacap-Salatiga. Kesamaan
nilai yang diyakini juga menjadi pencetus berdirinya sekolah-sekolah itu.
“Nilai-nilai universal yang menjadi landasan bersama, misalnya, kemanusiaan,
keadilan, pelestarian lingkungan dan kesetaraan gender,” kata Mudjab yang juga merangkap
Kepala Sekolah di SMP QT Harapan Makmur, Dusun Plantungan yang berdiri sejak
2005.
Menurut Mudjab, sekolah yang dipimpinnya itu, didirikan karena
alasan yang sama seperti di Kalibening. “Kemiskinanpenyebab banyaknya anak
putus sekolah. Kita ingin anak-anak petani bisa mendapat pendidikan bermutu
tapi terjangkau. Selain itu, bagaimana menerapkan sistem pendidikan yang memberdayakan,
tidak malah menindas,” jelas alumnus Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Yogyakarta ini.
Sekolahnya, kata Mudjab, yang menempati ruangan bekas TPA
itu memiliki delapan siswa. Di kelas satu tiga siswa dan sisanya di kelas II,
dengan jumlah pengajar delapan orang. “Jadi masing-masing anak didampingi satu
orang teman atau guru,” ujar Lina, salah seorang pengajar.
Murid SMP Alternatif al Barokah Ketapang lebih banyak. Berdiri
sejak 24 Mei 2005, sekolah ini sekarang menampung 36 siswa yang terbagi dalam
dua kelas. Metode pembelajaran diserahkan kepada anak-anak, dengan ditunjang
fasilitas internet dan laboratorium
alam. “Karena sistem yang dipakai adalah kejar paket B, anakanak lebih
menekankan diri pada life skill di bidang pertanian dan perikanan,” papar
Sumarno pengajar SMP Alternatif al Barokah.
Lagi-lagi mahalnya biaya pendidikan menjadi alasan
berdirinya sekolah ini. “Alasan lainnya, membangkitkan kembali budaya lokal
yang makin dipinggirkan modernitas,” kata Sumarno. Dengan berbekal kemauan dan kerja
keras, Sumarno bersama delapan guru dan lima pengelola mampu membuktikan, bahwa
model pendidikan ini justru diterima masyarakat dengan antusias. “Salah satu
murid di sini pindahan dari SMP negeri. Bahkan dia anak kepala sekolah itu,” tutur
Sumarno bangga.
Kebanggan juga tampak di wajah pengajar SMP Candi Laras Merbabu
Ely Nurhayati. Sekolah yang dirintis oleh SPPQT sejak 2004 itu telah berhasil
memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat. “Bukan hanya karena sekolah kami
mampu menerapkan metode belajar yang disukai murid, tapi juga komitmen para
pengajar yang tidak kenal lelah,” kata Ely. Setiap kali mengajar, Ely dan
beberapa pengajar harus menempuh perjalanan 8 kilometer. “Kami sering menginap
di sekolah karena satu-satunya transport, yaitu ojek, sudah habis,” tambah
mahasiswa tingkat akhir STAIN Magelang ini.
Dua puluh satu anak tercatat sebagai siswa SMP yang
berada di lereng Gunung Merbabu ini. Dengan menempati salah satu rumah
penduduk, sekolah yang terbagi dalam tiga kelas ini dilengkapi akses internet,
bantuan seorang pengusaha internet dari Salatiga. Menurut Ely saat ini muridnya
sedang giat membuat film documenter tentang sekolah mereka. “Memang belum
seberapa,” kata Ely. “Tapi sebagai anak yang hidup di gunung, pencapaian seperti
ini luar biasa,” imbuhnya.
Keuletan dan kegigihan membuat rakyat miskin juga mampu mengukir
prestasi. Sepatutnya pemerintah tak hanya berpangku tangan.[]
Subhi Azhari, Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi
QORYAH THOYYIBAH
Suplemen
the WAHID Institute VII/Tempo - 30 April - 6 Mei 2007
0 comments:
Post a Comment